Permulaan tahun 2009, pekan kedua
bulan Januari dan awal Februari, Aceh kedatangan ratusan tamu luar
negeri yang dibuang oleh negaranya sendiri. Sungguh malang nasib tamu
yang terkenal dengan sebutan “manusia perahu” ini. Di negeri asalnya
disiksa dan dizalimi, di negeri tetangga diusir dan dibuang. Dan
sekarang, tamu yang merupakan Muslim Rohingya itu terdampar diperairan
Sabang dan Idi Rayeuk, Nanggroe Aceh Darussalam. Akankah mereka akan
mengalami nasib serupa dari pemerintah kita?
Manusia tanpa negara
Etnis Rohingya adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan yang
mendiami kawasan perbatasan antara Myanmar-Bangladesh. Di Myanmar
mereka mengalami penganiayaan dan siksaan yang brutal dari rezim junta
militer. Inilah yang memaksa mereka menjadi manusia perahu yang
berlayar dari satu negara ke negara lain, terutama Thailand, Malaysia
dan Indonesia, untuk mencari tempat penghidupan yang lebih baik. Selain
Myanmar, Thailand adalah negeri yang paling tidak bersahabat dengan
orang Rohingya. Pemerintah negeri yang dulu bernama Siam itu selalu
bertindak keras dan kasar bahkan mengarah ke pembantaian.
Muslim Rohingya adalah keturunan Bengali, Panthay dan campuran
Burma-Cina. Sejak abad ke-7 Masehi mereka telah mendiami kawasan
Arakan, sebuah wilayah seluas 14.200 mil persegi yang terletak di Barat
Myanmar. Walau tinggal di kawasan yang masuk wilayah Myanmar, namun
junta militer tidak mengakui kewarganegaraan mereka. Oleh sebab itu,
mereka disebut juga dengan manusia tak bernegara atau orang tanpa
kewarganegaraan (stateless people).
Sebagai Muslim yang hidup di bawah tekanan junta militer, tak mudah
bagi etnis Rohingya menjalankan keyakinan mereka. Ratusan masjid dan
madrasah di wilayah mereka dihancurkan, Al-Qur’an sebagai kitab suci
dinjak-injak dan dibakar para tentara yang brutal. Perlakuan tak
manusiawi ini membuat mereka berontak. Untuk menyelamatkan diri dan
akidah, mereka melarikan diri dari tanah kelahirannya.
Muslim Rohingya termasuk dalam daftar pengungsi terbesar di dunia.
Bangladesh adalah salah satu negara yang menampung mereka. Menurut data
UNHCR, organisasi PBB yang mengurusi masalah pengungsi, jumlah
pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp UNHCR Bangladesh mencapai
28 ribu orang. Di luar itu, lebih dari 200 ribu orang yang tak terdata.
Mereka memilih hidup sebagai manusia perahu.
Karena tak ada tempat berpijak lagi, umat Islam yang terusir dari
tanah kelahirannya ini memilih tinggal di atas perahu. Berlayar dari
satu tempat ke tempat yang lain. Kadang mereka juga mendiami beberapa
pulau kosong yang terdapat sepanjang perbatasan Myanmar-Thailand. Walau
hidup susah, namun di pulau-pulau tak bernama ini mereka lebih leluasa
menjalani hidup. Beberapa ormas dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
internasional kadang memberikan mereka bantuan pangan, obat-obatan
maupun fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Nasib Manusia Perahu di Aceh
Sebelum ditemukan terkatung-katung di tengah laut tanpa persediaan
makanan oleh nelayan dan TNI AL, ratusan manusia perahu ini ditangkap
oleh militer Thailand tepatnya di wilayah perairan Laut Andaman dan
menahan mereka secara rahasia di sebuah pulau bernama Koh Sai Daeng.
Usai ditahan selama beberapa hari, kaum Muslimin yang tak berdaya
ini kemudian diseret ke tengah laut lalu dintinggalkan di atas kapal
tanpa mesin. Bahkan sebagian hanya ditinggali dayung. Tak ayal,
sebagian besar manusia “tanpa negara” ini hilang dan mati tenggelam.
Sekarang ratusan “manusia perahu” yang juga beragama Islam telah
tiba di Serambi Mekkah setelah ditemukan oleh nelayan setempat (Sabang
dan Idi Rayeuk) . Kisah pilu manusia perahu itu membuat masyarakat Aceh
sadar dan rasa ingin membantu. Yang paling memilukan adalah mereka
harus membuang 22 saudara mereka yang meninggal ke laut lepas. Mereka
meninggal karena kelaparan dan tidak adanya persediaan logistik di
tengah laut.
Namun, bagaimana nasib mereka selanjutnya setelah terdampar di negeri yang hampir seratus persen penduduknya beragama Islam?
Seperti yang diberitakan detiknews (02/02/09), Pemerintah Indonesia
akan segera mendeportasi “manusia perahu” ke negera asal mereka,
Myanmar. Pemerintah menyimpulkan bahwa manusia perahu yang terdampar di
Sabang diduga kuat bermotif ekonomi (economy migrant) .
Namun, seperti yang dituliskan Junaidi Beuransyah (acehlong.com),
kesimpulan yang diambil pemerintah dalam proses pendataan dan
investigasi terkesan dan terdapat adanya manipulasi. Pemerintah
cendrung melibatkan International Organization for Migration(IOM)
ketimbang UNHCR dalam menangani Muslim Rohingya. Seharusnya Pemerintah
harus bekerjasama dengan pihak badan resmi PBB United Nation High
Commision for Refugee(UNHCR) karena ini tugas dan wewenangnya mengurusi
para pengungsi.
Keterlibatan IOM semata tanpa adanya pihak UNHCR soal penanganan
pengungsi Myanmar ini sebenarnya belum sempurna segi keakuratan data
dan informasi. Akibatnya mencuat isu dari politik berubah kemotif
ekonomi. Kita yakin bahwa warga Rohingya yang terseret arus laut di
perairan Aceh itu adalah bahagian dari keburukan politik dan penindasan
penguasa junta militer.
Kita sangat memahami penyebab buruknya ekonomi itu merupakan akibat
dari runyamnya situasi politik sehingga membuat para manusia perahu itu
harus hijrah menyelamatkan diri sekaligus memperbaiki ekonomi dari luar
negaranya.
Dengan kata lain, persoalan politik dan ekonomi yang sedang dihadapi
para pengungsi politik dimanapun di dunia, merupakan dua sisi kehidupan
antara keselamatan nyawa dan perubahan hidup. Jika perlindungan telah
ada, maka secara otomatis akan menyusul dengan perbaikan nasib untuk
hidup secara ekonomi. Singkatnya dua hal tersebut tak mungkin
terpisahkan dan itu fakta.
Himbauan untuk Pemerintah
Kita meminta kepada Pemerintah Indonesia supaya mempertimbangkan
kembali niatnya untuk mendeportasikan Muslim Rohingya agar keselamatan
mereka terjamin. Departemen luar negeri kiranya perlu melihat secara
lebih teliti bahwa kehadiran mereka ke Indonesia itu masih dalam
konteks politik negara Myanmar yang begitu parah yang menyebabkan
mereka tertindas dan keluar dari negaranya untuk mencari perhatian dan
perlindungan politik dunia internasional. Mereka perlu dilindungi
secara politik oleh Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan
menyambut baik semua manusia perahu dengan memberikan status negara
kedua dan pemberian suaka kepada mereka sambil menunggu adanya jaminan
keamanan yang menyeluruh dari negara ketiga.
Nasib manusia perahu sangat memerlukan perhatian dan bantuan dari
Pemerintah Indonesia. Mereka itu (etnis muslim minoriti) golongan
tertindas dan diusir dari negaranya akibat perlakuan penguasa junta
militer yang cukup ganas. Sekarang mereka sudah terselamatkan dalam
wilayah hukum negara Indonesia atau mereka kini berada di negara kedua.
Karena itu perlindungan dan keselamatan harus diberikan kepada mereka
dan bukannya membuang mereka kembali ke negara asalnya.
Sebaiknya Pemerintah Indonesia sesegera mungkin mencari jalan
terbaik bagi menangani pengungsi tersebut. Pemerintah sangat diharapkan
segera mengambil langkah positif untuk mengizinkan dan mengundang pihak
UNHCR guna mempercepat penanganan mereka dan selanjutnya diterbangkan
kenegara ketiga. Nasib dan derita yang mereka alami saat ini sungguh
memprihatinkan. UNHCR adalah lembaga paling tepat untuk mengurusi
mereka yang berstatus pelarian politik.