Meski tampil dengan perangkat disc jockey ala kadarnya, tapi cukup membuat pengunjung terhibur. Maklum di kota Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) acara semacam ini tergolong langka. Di kota berjuluk Serambi Mekkah ini, hal-hal yang berbau hiburan malam dianggap tabu.
"Hiburan seperti ini paling ada sebulan sekali. Bahkan bisa dua bulan sekali. Karena izinnya sangat sulit karena takut menyerempet syariat," ujar Vitra, salah satu dari dua DJ yang ada di Aceh.
Vitra baru tiga tahun terjun dalam dunia DJ. Pengetahuannya tentang meramu musik elektrik ini ia dapatkan saat kuliah di Jakarta. Awalnya ia bingung untuk menerapkan kebisaanya itu karena di seluruh wilayah Aceh tidak ada diskotek ataupun bar. Sudah tentu keahliannya itu tidak mendapat tempat di tempat kelahirannya tersebut. Tapi karena respon kawula muda di Banda Aceh cukup besar, Vitra berpikir ada peluang.
Untuk menyiasati supaya bisa unjuk kebolehan, pria berusia 26 tahun ini harus keluar masuk perusahaan yang ada di Banda Aceh mencari sponsor. Uang dari sponsor inilah yang digunakan untuk membiayai pertunjukan, seperti yang diadakan di kafe Athena, belum lama ini. Sebab Vitra tidak mungkin meminta bayaran dari kafe lantaran semua kafe yang ada di Banda Aceh lebih pantas di sebut kedai atau rumah makan. Jadi mereka tidak punya budget khusus untuk memberikan layanan tambahan berupa hiburan musik.
"Pemilik kafe hanya menyediakan space yang ada di area kafe. Jadi saya tidak mendapatkan bayaran dari kafe," imbuh Vitra.
Bagi Vitra pola kerjasama semacam ini sama-sama menguntungkan. Sebab selain ia bisa mendapat bayaran dari sponsor, hobinya nge-deejey bisa tersalurkan. Apalagi banyak generasi muda di Banda Aceh khususnya memang sangat membutuhkan hiburan semacam ini.
Tidak heran, walau aksi nge-deejey digelar apa adanya di halaman kafe tapi mampu menyedot perhatian muda-mudi di kota tersebut. Hampir semua pengunjung terlihat asik menggeleng-gelengkan kepala menikmati musik dugem tersebut. "Walau hanya bisa geleng-geleng kepala tapi saya cukup puas nontonya," kata Sarifudin, warga Aceh Besar dengan logat Acehnya yang kental.
Selain pertunjukan musik "geleng-geleng" para pengunjung yang datang malam itu juga disuguhkan acara seksi dancer. Uniknya, meski menari dengan gerakan erotis, penampilan kelompok NAD Dance tetap sopan. Mereka mengenakan baju tertutup dan mengenakan jilbab. "Kalau tidak pakai jilbab kami bisa dilarang tampil oleh WH (sebutan polisi syariat di NAD)," kata Tari Kaharisma Handayani, salah seorang penari.
Grup NAD Dance merupakan satu-satunya kelompok dancer yang ada di NAD. Grup ini baru berdiri dua tahun lalu dan beranggotan empat perempuan muda, yakni Tari Kaharisma Handayani, Tesa Krisna, Kiki Tifani dan Yanti. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, ada yang berstatus mahasiswi, pelajar, sekretaris sebuah parpol, dan karyawati.
Meski keberadaan mereka hanya semata wayang, tidak berarti tawaran manggung mengalir deras. Di Aceh sangat jarang digelar even yang membutuhkan penampilan mereka. Para dancer ini akan beraksi jika ada perusahaan yang punya segmen anak muda sedang melakukan promosi salah satu produknya. "Biasanya dealer sepeda motor yang sering memanggil kami untuk mengisi acaranya," ungkap Tari, yang masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
Kendala yang dihadapi NAD Dance bukan hanya minimnya pertunjukan. Area untuk latihan nge-dance juga terbatas. Pernah suatu ketika mereka diusir oleh penjaga Taman Budaya saat mereka sedang latihan. Pasalnya, penjaga tersebut menganggap latihan yang dilakukan Tari cs sangat seronok dan mengundang birahi bagi orang yang melihatnya.
Akhirnya mereka pun pindah tempat latihan di sebuah ruko yang terletak di Jalan Neusu, Banda Aceh. Namun kondisi serupa juga dialami mereka. Sebab baru tiga bulan berlatih, kontrakan ruko diputus oleh pemiliknya. Mau tidak mau mereka saat ini hanya bisa berlatih di rumah salah satu personelnya.
Meski mengalami banyak kendala, Tari Cs tetap menjalankan hobinya nge-dance dan melakukan pertunjukan di hadapan publik Banda Aceh. Hanya saja, bila melakukan pertunjukan di tempat keramaian mereka sangat membatasi gerakan supaya tidak dianggap erotis. Dan pakaian yang mereka kenakan juga diupayakan sesopan mungkin. Sehingga tidak menimbulkan kesan seronok dan mengundang syahwat.
Meski harus berpakaian sangat terbatas, tidak seperti layaknya seksi dancer pada umumnya, mereka merasa tidak terganggu. "Kami sudah terbiasa menari pakai jilbab. Malah kami menganggap NAD Dance satu-satunya grup dance di Indonesia yang mengenakan jilbab," cetus Tari.
Keberadaan DJ Vitra dan NAD Dance seakan menjadi oase bagi kalangan muda di Banda Aceh yang haus akan hiburan. Tidak heran ketika keduanya tampil dalam sebuah even, sebagian kalangan muda di wilayah tersebut begitu antusias. Sebab acara semacam ini sangat jarang terjadi. Pasalnya syariat Islam yang diterapkan pemerintah NAD "mengharamkan" bentuk hiburan semacam ini. Sekalipun ada, itupun hanya sebatas di Banda Aceh dengan berbagai persyaratan. Misalnya harus di luar ruangan alias di ruangan terbuka dan waktunya tidak boleh lewat tengah malam.
Diambil dari Detik.com