selesai sampai kapan pun. Topik yang satu ini menarik dibicarakan,
terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal
yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, selama
manusia itu ada, selama itu pula persoalan budaya akan terus
dibicarakan. Demikian pula halnya dengan budaya Aceh.
Kehilangan demi kehilangan yang menimpa orang Aceh sebenarnya telah
membuat banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya.
Perubahan itu ada yang bersifat positif, tentu pula tidak sedikit yang
bersifat negatif. Perubahan positif akan kita catat dalam sejarah
peradaban Aceh sebagai suatu prestasi atau perkembangan, sedangkan yang
bersifat negatif marilah sama-sama kita cegah jauh-jauh hari sebelum
terlambat. Baik positif maupun negatif, pembicaraan budaya di Aceh ini
dibatasi pascakonflik dan tsunami.
Perubahan positif antara lain, lahirnya penulis-penulis baru dan
munculnya penyanyi-penyanyi baru di Aceh. Hal ini terbukti dari
banyaknya buku yang ditulis oleh orang Aceh mengisahkan konflik dan
tsunami. Begitu pula nyanyi Aceh, sangat beragam nyanyi Aceh yang
beredar di toko-toko kaset saat ini. Intinya, jika kita ingin mendengar
lagu Aceh, kita sudah dapat memilih beberapa kaset atau CD yang beredar
di pasaran dan tidak susah mencarinya. Andai tidak cukup duit untuk
membeli CD-CD itu, kita dapat memutar beberapa gelombang radio yang
dengan rutin pula memutar lagu-lagu Aceh.
Fenomena ini menunjukkan bahwa konflik dan tsunami telah membawa banyak
ilham pada generasi muda Aceh untuk mengimplementasikan kebudayaannya.
Dengan demikian, budaya Aceh saat ini dapat dilihat, ditemukan, atau
dinikmati oleh siapa pun yang berminat di berbagai tempat dan media.
Mencermati permasalahan di atas, ada beberapa perubahan dalam
masyarakat kita saat ini. Perubahan tersebut terdapat pada pandangan
masyarakat Aceh terhadap petuah atau kebiasaan-kebiasaan yang telah
turun-temurun berlaku dalam masyarakat. Petuah atau kebiasaan yang
dinamakan adat-istiadat (kebudayaan) itu kini mulai dikesampingkan oleh
generasi muda kita dalam karya-karyanya. Masalah yang kedua ini penulis
namakan perubahan negatif yang terjadi pascakonflik dan tsunami.
Sehubungan dengan itu marilah kita cermati bagaimana ssungguhnya budaya
Aceh. Budaya yang dijalani oleh masyarakat Aceh adalah budaya yang
islami. Artinya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Aceh
tidak bertentangan dengan ajaran islam. Budaya yang islami ini kita
harapkan dapat tercermin dalam semua laku dan kehidupan orang Aceh,
tidak terkecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh generasi muda Aceh
terkini dan CD-CD Aceh yang sedang marak-maraknya dijual di pasaran.
Dengan demikian, jika anak cucu kita kelak atau orang lain membaca atau
menonton VCD-VCD Aceh, mereka sekaligus dapat menatap, menikmati, dan
melestarikan kebudayaan itu dalam kehidupannya. Artinya, dalam menulis
apa saja yang berlatar belakang keacehan, penulis itu haruslah
mengedepankan persoalan yang satu ini. Begitu pula bagi yang terlibat
dalam pembuatan VCD-VCD Aceh, baik penyanyi, maupun model-model
(bintang) yang dipertontonkan dalam VCD itu, hendaknya memperhatian
nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Hal ini perlu
kita ingatkan bersama oleh karena media ini (VCD) merupakan salah satu
media yang sangat ampuh dalam menyampaikan pesan-pesan kebudayaan.
Pesan budaya yang ada dalam VCD tidak hanya dapat didengar, tetapi
dapat pula disaksikan dengan mata kepala seseorang baik yang berasal
dari Nanggroe Aceh Darussalam, maupun yang berasal dari luar. Dengan
menonton VCD yang bernuansa keacehan, secara tidak langsung orang itu
sudah melihat kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Singkatnya, VCD aceh
dapat menjadi cerminan kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena VCD-VCD
itu sesungguhnya merupakan miniatur kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat Aceh, VCD Aceh hendaknya
dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh yang alamiah dan islami.
Kalau kita tidak memperhatikan kedua hal itu (alamiah dan islami) orang
yang menonton VCD aceh akan mengira orang Aceh itu munafik. Munafik
yang dimaksud adalah lain yang dielu-elukan di mulut, lain pula yang
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan ini tertera hampir pada semua sampul VCD aceh saat ini,
perempuan yang menjadi model pada sampul CD tersebut sangat banyak yang
tidak memakai jilbab. Ironisnya lagi dara-dara Aceh yang cantik, mulus,
dan berhidung mancung itu memakai celana jeans dan bertopi. Busana yang
mereka pakai lagaknya busana bintang-bintang film luar negeri saja.
Belum lagi dalam VCD aceh itu ditayangkan pula laki-laki yang memakai
anting. Sungguh suatu hal yang tidak dapat ditolerir dan tak dapat
dibiarkan oleh pihak-pihak pemangku adat di Aceh jika kita tidak ingin
adat Aceh itu menjadi hancur.
Dua permasalahan berpakaian di Aceh yang tercermin dalam sampul CD dan
VCD aceh itu, jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada badan atau pihak
yang mengontrol, penulis yakin suatu ketika adat Aceh yang selama ini
kita anuti akan hilang bersamaan dengan melajunya globalisasi di Aceh.
Permasalahan ini tidak besar memang jika dipandang oleh orang lain yang
tak memahami palsafah hidup orang Aceh. Namun, tidak demikian halnya
bagi orang-orang yang mengetahui dalam dirinya mengalir darah para
syuhada Aceh. Permasalahan berbusana ini merupakan suatu persoalan adat
tak tertulis yang sudah diatur jauh sebelum diterapkannya syariat Islam
di Aceh dan bagi yang melanggar sesungguhnya akan mendapat hukuman tak
tertulis pula dari masyarakat.
Masalah adat berbusana di Aceh merupakan pembicaraan sangat urgen dalam
deretan khasanah kebudayaan lainnya. Sebab, di NAD jauh sebelum
berlakunya syariat Islam sebenarnya kebiasaan-kebiasaan berpakaian itu
sudah ada ketentuannya, yakni sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini
terjadi karena adat-istiadat di NAD tidak bertentangan dengan agama,
bahkan disebutkan adat dan agama itu tak ubahnya seperti zat dan sifat,
tidak dapat dipisahkan.
Lalu bagaimanakah idealnya busana aceh? Busana aceh itu definisinya
sangat sederhana, yakni busana/ pakaian yang menutup aurat. Di Aceh,
pakaian laki-laki dan perempuan jelas ada perbedaannya. Perempuan
mengenakan rok, baju agak longgar, dan memakai tutup kepala “kini
dikenal dengan jilbab’, sedangkan asesorisnya biasanya perempuan Aceh
memakai cincin emas, gelang tangan emas, kalung emas, anting emas, dan
jam tangan. Adapun laki-laki, mengenakan celana panjang, baju kemeja,
baju kaos oblong, kopiah/ topi dengan asesoris paling-paling jam tangan.
Pengelompokan busana Aceh yang telah penulis deskripsikan di atas
memperlihatkan pada kita betapa mudah dan indahnya aturan berbusana di
Aceh, sehingga kecil sekali kemungkinannya orang Aceh akan salah
memilih busana. Jika ada orang yang keliru memilih busana, misalnya
topi/ kopiah dipakai oleh anak perempuan, atau anting dipakai oleh anak
laki-laki, orang itu disebut tidak waras. Sebab hanya orang yang sudah
tidak waras yang mau memakai pakaian yang bukan pakaiannya. Misalnya
anting atau keurabu bahasa Aceh, asesoris itu siapa pun yang mengakui
dirinya orang Aceh, dari zaman dahulu hingga sebelum tsunami
menghancurkan NAD tidak pernah menempel pada telinga seorang laki-laki
‘aneuk agam’. Kalau juga hal itu terdapat pada seorang anak Aceh yang
lahir, hidup, dan tinggal di Aceh, anak laki-laki yang memakai anting
itu disebut pungoe. Seandainya anak tersebut masih memiliki orang tua,
orang tuanyalah yang dikatakan tidak tahu mengajar anak, atau anak yang
demikian dikatakan tak tahu adat dan dia serta seluruh keluarganya akan
dikucilkan dalam masyarakat.
Namun, apa yang sedang berlaku saat ini, dara-dara Aceh yang ceudah
jeulita ‘cantik menawan’ menari-nari tanpa busana muslim. Mereka tidak
memakai rok layaknya perempuan-perempuan Aceh. Mereka juga tidak
memakai baju longgar, melainkan sebaliknya, dan mereka juga tidak
menutup kepalanya dengan jilbab atau ija top ulee, tetapi menutupnya
dengan topi ala Eropa. Di dalam tayangan VCD itu kita juga dapat
melihat ureung agam memakai anting dengan rambut model bintang film
luar negeri. Inikah kebudayaan Aceh pascakonflik dan tsunami?
Masyaallah!
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetuk pintu hati
petinggi-petinggi NAD yang berwenang mengayomi dan melindungi
adat-istidat Aceh. Sebaiknya dapat dimanfaatkan badan yang salama ini
mengurus adat-istiadat atau paling tidak ditunjuk sebuah tim yang
khusus menyensor VCD aceh. Tim sensor ini yang akan menilai apakah
tanyangan VCD itu bertentangan dengan adat-istiadat Aceh atau tidak.
Seterusnya tim ini pula yang akan merekom dapat atau tidaknya VCD
tersebut dijual. Matee aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita?
From Zulfah Unimal